Co-Firing PLTU Jeranjang Kekurangan Suplai Bahan Baku Sampah

Mataram (NTB Satu) – Co-firing yang merupakan teknik substitusi dalam pembakaran PLTU sudah mulai diterapkan di PLTU Jeranjang dan PLTU Sumbawa Barat. Namun PLTU Jeranjang masih kekurangan suplai bahan baku sampah untuk co-firing.

Pemerintah sudah menyiapkan skenario untuk mengkonversi pembangkit-pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar batu bara menjadi pembangkit listrik ramah lingkungan seiring dengan transisi energi di tanah air.

General Manager PLN Unit Induk Wilayah (UIW) Provinsi Nusa Tenggara Barat, Sudjarwo menyebut, dua pembangkit listrik di NTB yang menggunakan batu bara adalah PLTU Jeranjang, di Lombok Barat dan PLTU Sumbawa Barat.

“Daripada mematikan pembangkit listrik yang nilai investasinya tidak kecil ini, pilihannya tetap mengoperasikannya, dengan co-firing,” kata Sudjarwo di ruang kerjanya, Kamis, 22 Desember 2022.

Co-firing merupakan teknik substitusi dalam pembakaran PLTU, di mana sebagian batubara yang dijadikan bahan bakar diganti sebagian atau penuh dengan bahan lainnya dengan biomassa.

“Bisa menggunakan tongkol jagung, bisa menggunakan sekam, serbuk kayu, limbah pertanian, bisa juga dengan sampah. Atau dengan bahan bakar kayu,” ujarnya.

Co-firing sudah berjalan di dua pembangkit listrik itu. Di PLTU Jeranjang, PLN sudah mengolah sampah menjadi pelet yang digunakan untuk bahan bakar pembangkit. Demikian juga di PLTU Sumbawa Barat, PLN sudah menggunakan 100 persen tongkol jagung sebagai bahan bakar. Bahkan selama Bulan Mei-Agustus 2022, PLTU Sumbawa telah menggunakan 1.196,85 ton (5%) biomassa.

Co-firing tidak bisa maksimal jika hanya mengandalkan sampah. Menurut Sudjarwo, jumlah sampah belum menutupi kebutuhan bahan bakar PLTU. Untuk mengoperasikan PLTU berkapasitas 7 Megawatt (MW), setidaknya dibutuhkan 300 ton sampah sehari. Sementara PLTU Jeranjang dapat menghasilkan daya 3 x 25 Megawatt.

“Untuk co-firing full, tidak cukup hanya dengan mengandalkan sampah. Dibutuhkan bahan bakar alternatif lainnya, seperti kayu. Jenis kayu yang paling sesuai adalah lamtoro, kaliandra, dan gamal,” ungkapnya.

Untuk kebutuhan bahan bakar alternatif ini, Sudjarwo menambahkan, PLN dan Pemprov NTB bekerjasama menyiapkan hutan energi dalam rangka penyediaan stok bahan baku bahan bakar alternatif ini.

“Kita juga bisa bekerja sama dengan swasta yang bisa menyediakan kayunya. Peluang untuk menyediakan bahan bakar alternatif (kayu) ini terbuka juga untuk masyarakat umum. Namun PLN hanya bermitra dengan badan usaha seperti CV atau PT,” jelas Sudjarwo.

Jika dihitung nilai ekonomisnya, 1 kilogram kayu nilainya Rp650 di tingkat pembangkit. Kayunya sudah harus dalam bentuk potongan kecil-kecil, bukan dalam bentuk gelondongan. Dalam jangka panjang keberadaan, lanjut Sudjarwo, tentu co-firing pembangkit listrik akan menghadirkan efek ikutan ekonomi lainnya. Dari penyediaan bahan baku, pengolahan kayunya, hingga transportasi pengangkutannya ke pembangkit PLTU.

“Akan banyak rantai ekonomi yang ditimbulkan. Kelebihan lain utama lainnya, pembangkit listrik menjadi ramah lingkungan. Jika penanaman pohonnya masif, otomatis terjaga kelestarian alam, keseimbangan alam akan terjadi,” pungkas Sudjarwo. (ABG)

Exit mobile version