LPA NTB Minta Praktek Joki Cilik Segera Dihentikan

Mataram (NTB Satu) – Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi NTB kembali mendesak semua pihak untuk mengakhiri praktek pemanfaatan joki cilik dalam gelaran pacuan kuda yang sering dilaksanakan di sejumlah daerah di Pulau Sumbawa, terutama di Bima.

Ketua LPA Provinsi NTB H. Sahan SH mengatakan, beberapa tahun terakhir muncul sejumlah kasus kecelakaan yang merenggut korban jiwa di arena balap pacuan kuda yang melibatkan joki cilik.

Misalnya, MA joki cilik usia 6 tahun meninggal dunia di Bima, setelah terjatuh dari punggung kuda yang ditungganginya saat latihan pada bulan Maret 2022 kemarin. Sebelumnya, peristiwa serupa juga terjadi pada bulan Oktober 2019, seorang joki anak meninggal dunia saat mengikuti lomba. Bahkan, beberapa joki lainnya mengalami luka, patah tulang dan kecacatan.

“Hal itu menempatkan anak dalam situasi yang terus terancam. Mereka tidak memiliki jaminan kesehatan. Pada saat latihan dan perlombaan pun, layanan medis tidak memadai, hanya sebuah mobil ambulan yang terbatas sarananya,” kata H. Sahan kepada NTB Satu Jumat 8 April 2022.

Hal lain yang menjadi perhatian LPA yaitu terkait hak pendidikan dan kesejahteraan anak. Menurutnya, kerapkali joki cilik meninggalkan sekolah waktu latihan dan perlombaan. Kondisi ekonomi dan sosial juga tidak menunjukan perubahan anak.

“Setelah tidak menjadi joki, mereka menjalani kehidupan seperti memberi makan kuda-kuda pacuan, membawa Benhur (cidomo), dan setelah dewasa dan menikah, beberapa mantan joki anak meneruskan keahlian kepada anak-anak mereka. Sehingga usai menjadi joki, mereka justru meredup, tidak memiliki masa depan,” kata Sahan.

Siklus yang demikian itu, lanjutnya tentu harus diakhiri, dan segera direspons serius oleh semua pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, Pordasi, maupun lembaga lain terkait, serta organisasi masyarakat, dan tentu saja para orang tua.

Eksploitasi Anak

LPA menilai aktivitas joki cilik merupakan bentuk eksploitasi anak dalam lingkup ekonomi. Hal ini merujuk pada ketentuan UU No.23 Tahun 2002 dan perubahan pada UU No. 35 Tahun 2014 (UU Perlindungan Anak) yang telah menggariskan ketentuan tentang perbuatan eksploitasi anak sebagai perbuatan dilarang yang ditentukan sebagai tindak pidana.

“Dalam Pasal 76I, mengatur perbuatan eksploitasi anak mencakup eksploitasi ekonomi dan/atau ekonomi, menyatakan bahwa ‘Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak’. Perbuatan tersebut, mendapatkan ancaman pidana sebagaimana diatur Pasal 88, bahwa perbuatan eksploitasi anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta,” terangnya.

Menurutnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) pada tahun 2019 juga telah memberikan petunjuk melalui buku pedoman “Terminologi Perlindungan Anak dari Eksploitasi”. Dari catatan penting KPPA, pemaknaan eksploitasi anak adalah upaya mengambil keuntungan dari orang lain atau memperoleh keuntungan untuk diri sendiri melalui produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa dengan cara mencakup situasi manipulasi, penyalahgunaan, pelecehan, viktimisasi, penindasan, atau perlakuan buruk terhadap anak.

LPA NTB menilai setiap kejadian yang muncul terkait dengan joki anak ini selalu menjadi sorotan publik. Namun sampai sekarang tidak ada aturan teknis dan tata cara penyelenggaraannya. “Bahkan, rekomendasi usai kejadian tahun 2019 menguap, tidak ada penghentian, ” sesal Sahan.

Karena belum ada ketegasan soal larangan penggunaan joki anak dalam arena pacua kuda ini, LPA NTB terus mendorong keseriusan Pemprov NTB, Pemda kabupaten/kota, dan Pordasi dalam penyelenggaraan pacuan kuda di Bima.

“Kami juga mendorong pemerintah pusat untuk mengatur pedoman dalam pelaksanaan olahraga berkuda di wilayah NTB, mendorong keterlibatan Pordasi Pusat dalam mengawasi pelaksanaan olahraga berkuda di wilayah NTB,” ujarnya.

Yang tak kalah pentingnya yaitu pentingnya pelibatan berbagai pihak, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi.(DAA)

Exit mobile version