Selepas PT. GTI, Muncul Harapan Pelepasan Status Lahan

Mataram (NTB Satu) – Polemik status Hak Pengelolaan Lahan (HPL) PT. Gili Trawangan Indah (GTI) baru saja diputus oleh Satgas Investasi. Masyarakat dan pengusaha lokal menyambut antusias. Namun di balik itu, masih ada yang mengganjal menurut mereka, harapan untuk pelepasan status aset menjadi hak milik.

Menurut warga dan pengusaha di sana, mereka sudah menempati kawasan Gili sudah berpuluh tahun, bahkan sebelum HPL untuk PT. GTI terbit tahun 1995. Mereka berdalih, dengan status milik sendiri, maka potensi retribusi maupun Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang disetor bisa lebih maksimal.

“Kalau dari rekan rekan yang menempati lahan GTI, mereka malah meminta untuk dilegalkan, termasuk dalam hal ini kepemilikan tanah dengan sertifkat. Sehingga pajak juga jelas untuk diberikan ke pemerintah,” kata Ketua Asosiasi Manajer Hotel Gili Trawangan, H. Ahmad, SP kepada ntbsatu.com, Senin (13/9).

Pernyataan itu muncul ketika disinggung soal kesiapan pengusaha lokal di sana untuk memberikan setoran PAD ke pemerintah setelah GTI dibuat hengkang oleh Pemprov NTB.

Pada dasarnya mereka siap menyetor berapa pun sesuai regulasi. Jika diasumsikan pendapatan mereka Rp 10 juta per hari dari 300 pengusaha di sana, maka diperkirakan perputaran uang mencapai Rp 3 miliar per hari, dikali per tahun ditaksir mencapai 1,08 triliun. 10 persen dari pendapatan itu menjadi hak daerah.

Tapi itu jika kondisi high season menurut Ahmad. Makanya dari itu, harus dibuat kalkulasi dan kajian pendapatan berdasarkan kondisi usaha, terlebih di masa pandemik yang makin menghimpit pendapatan mereka akibat low season.

“Kalau ini (PAD) terkait erat dengan berapa total hotel, restaurant, bungalow juga cafe yang ada dan season tamu per tahun. Kalau ada high season, pastinya pendapatan juga naik dan berimbas ke pajak. Semestinya begitu,” jelasnya.

Maka, kembali ke soal status lahan, pendapatan daerah bisa dimaksimalkan jika statusnya clear milik masyarakat. Masalah ini bagi GM Kokomo Resort ini, bukan topik baru, tapi sudah lama jadi aspirasi di luar persoalan dengan PT. GTI, bahkan masalah sama sudah sampai ke pemerintah pusat.

“Ini malah sudah sampai pusat komunikasinya. Sehingga hasil yang sekarang (Pemutusan kontrak PT. GTI) didapat bagian dari komunikasi masyarakat Gili,” ungkap Ahmad.

Tapi sementara ini fokus dulu ke soal kelanjutan setelah pemutusan kontrak di tengah jalan dengan PT. GTI yang seharusnya tuntas 2026. Sudah menjadi keputusan yang tepat ketika status 65 hektar lahan itu kembali ke tangan Pemprov NTB dan dikelola masyarakat.

Sama dengan pernyataan Risman Purwandi sebelumnya, lebih efektif pengelolaan dikembalikan ke masyarakat karena mengklaim sudah menempati tempat tersebut puluhan tahun menjadi sumber penghidupan bagi warga. (red)

Exit mobile version