Site icon NTBSatu

Antara Nyawa dan Jalan Rusak, Warga Meang Jadi Penandu Ibu Hamil dan Lansia Tanpa Pamrih

Antara Nyawa dan Jalan Rusak, Warga Meang Jadi Penandu Ibu Hamil dan Lansia Tanpa Pamrih

Potret warga yang menjadi penandu ibu hamil dan lansia di Dusun Meang, Sekotong, Lombok Barat. Foto: Sita Saraswati

Saat nyawa jadi taruhan, di tengah “miskinnya” perhatian Pemda, tak ada pilihan selain saling membantu. Inilah realitas sosial dampak buruk jalan rusak yang tak berkesudahan di Dusun Meang, Sekotong, Lombok Barat.

Di sebuah dusun terpencil bernama Meang Pangsing, yang terletak di atas perbukitan Kecamatan Sekotong, Lombok Barat, lima pria paruh baya masih setia pada tugas kemanusiaan mereka.

Nasarudin, Abdul Apit, Sahban, Sirajudin, dan Nuryadi, bukan tenaga medis, bukan pula petugas pemerintah.

Mereka hanyalah warga biasa. Tapi kelimanya merupakan harapan terakhir bagi para lansia, anak sakit, dan ibu hamil di Dusun Meang yang harus mendapatkan layanan kesehatan.

Di dusun ini, tak ada puskesmas, apalagi rumah sakit. Jika ada yang sakit atau hendak melahirkan, satu-satunya cara adalah ditandu untuk menuju fasilitas kesehatan tersebut.

Dengan sarung dan bambu, mereka membawa pasien melewati jalan rusak sepanjang hampir empat kilometer. Jalan yang lebih mirip lintasan off road, ketimbang akses menuju pemukiman.

“Tapi sampai kapan kami akan begini? Kami sudah tidak muda lagi,” kata Nuryadi pada NTBSatu, Rabu, 29 Januari 2024

Rombongan tim saat melewati jalan yang mirip lintasan off road ketika menuju Dusun Meang, Sekotong, Lombok Barat. Foto: Sita Saraswati

Menandu seseorang sejauh itu di medan yang terjal dan berbahaya, bukan sekadar tugas berat. Ini pekerjaan yang mempertaruhkan nyawa.

Mereka harus menembus jalan yang menanjak, berkelok, berlumpur, dan berbatu. Musim hujan lebih mengerikan lagi. Jalanan berubah menjadi jebakan maut karena licin, curam, dan kotor.

“Kalau penandu tidak dalam kondisi sehat, bisa tergelincir. Nyawa taruhannya,” ujar Nuryadi.

Menunda Persalinan Demi Keselamatan

Bagi laki-laki di Meang, perencanaan keluarga bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal cuaca. Mereka harus mengatur agar istrinya tidak melahirkan di musim hujan.

“Karena kalau musim hujan, jalannya makin parah. Kalau harus ditandu, risikonya lebih besar,” tambahnya.

Namun, tak semua bisa mereka atur sesuai rencana. Tahun 2024, seorang ibu hamil harus digotong sejauh itu demi mendapat pertolongan medis.

Tahun ini, kejadian serupa terulang. Seorang ibu bernama Siatri kembali harus ditandu, saat kembali usai pemeriksaan di Puskesmas Sekotong.

Siang itu, sekitar pukul 11.00 Wita, sekelompok warga sudah bersiap dengan bambu dan sarung. Melewati jalan yang penuh tantangan,membawa Siatri pulang ke Dusun Pangsing, Meang.

“Dulunya, ada dukun beranak 3 sampai 4 orang untuk membantu persalinan. Tapi sudah meninggal semua,” ucap Nuryadi.

Sementara jika hanya ada yang sakit di sini, mereka biasanya hanya beli obat penghilang rasa sakit.

“Atau kalau tidak ada uang, ya ditahan saja sampai hilang sendiri,” ungkap Inaq Sahril, seorang warga.

Bukan karena tak mau berobat, tapi akses yang buruk membuat mereka harus berpikir berkali-kali sebelum memutuskan pergi ke fasilitas kesehatan terdekat.

Memang terdapat Puskesmas Desa (Puskesdes), yakni di Dusun Bengkang dan Puskesmas Pembantu (Pustu) di Sepi. Namun jaraknya lumayan jauh dari Meang, sekitar 7-8 kilometer.

Tanggapan Pemerintah

Puluhan tahun, warga Meang menghadapi situasi ini tanpa ada perubahan berarti. Jalan tetap rusak. Fasilitas kesehatan tetap jauh.

Namun, akhirnya suara mereka mulai terdengar.

Dalam sebuah pertemuan pada Kamis, 30 Januari 2025 dengan Penjabat (Pj.) Bupati Lombok Barat, H. Ilham, warga Meang mengadukan kondisi mereka. Pemerintah daerah pun mulai bergerak.

“Kami hari Senin depan, akan mengecek langsung ke lokasi untuk menempatkan tenaga kesehatan secara berkala di sana dan melihat bagaimana kondisi kesehatan masyarakat,” ujarnya.

Pj. Bupati Lombok Barat, Ilham saat bertemu dengan sejumlah warga Dusun Meang, Sekotong, Kamis, 30 Januari 2025. Foto: Sita Saraswati

Ia menginstruksikan Dinas Kesehatan Lombok Barat, segera mengirim tenaga kesehatan secara berkala ke Meang. Mereka juga akan melakukan pemeriksaan kesehatan warga. Serta, mencari rumah warga sebagai pusat layanan kesehatan sementara di sana.

Namun, ada satu hal yang menjadi atensi. Pembangunan fasilitas kesehatan permanen memerlukan waktu.

“Pemda harus memastikan tanah atau lokasi yang akan dijadikan pustu adalah milik pemerintah daerah,” jelasnya.

Bagi warga Meang, kabar ini tentu membawa secercah harapan. Namun, pertanyaan besar tetap menggantung: kapan semua ini benar-benar terealisasi? Berapa lama lagi harus menandu nyawa di atas jalanan rusak?

Bagi Nasarudin dan kawan-kawan, usia terus bertambah. Mereka tidak tahu sampai kapan masih mampu menggotong sesama warga melewati medan berbahaya itu.

“Kami hanya berharap ada solusi nyata. Jalan yang layak, fasilitas kesehatan yang dekat. Agar kelak, anak-anak kami tidak perlu lagi bertaruh nyawa hanya untuk berobat,” harapnya. (*)

Exit mobile version