Proyek kakap Rumah Susun (Rusun) sebagian terindikasi bukan berbasis kebutuhan. Para penumpang gelap menggiring proyek menyesuaikan kebutuhan politik. Selain mangkrak, sebagian bangunan jadi sumber kriminalitas. Kementerian PKP RI akan merombak sistem. Usulan harus berbasis data kabupaten dan kota.
———————————
Fahri Hamzah mengela nafas. Sesaat kemudian keluar nada kesal ketika menyebut dua nama. “Itu mah kerjaan mereka,” gumam Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) ini ditemui NTBSatu di kantornya, Jalan Pattimura Nomor 20, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
“Wah bahaya mereka,” sambungnya, Senin 13 Januari 2025.
Sumber NTBSatu, dua nama yang terafiliasi dengan gedung DPR RI itu memang disebut sebut berperan aktif melobi proyek proyek Kementerian PUPR. Termasuk pada proyek puluhan miliar Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa). Masalahnya, kerja lobi mereka mengangkangi alur birokrasi di kementerian.
Jadi rahasia umum di Kementerian PUPR, keinginan mereka pada proyek Rusunawa lebih sistematis melibatkan partisipasi aktif kabupaten dan kota sebagai pemilik wilayah.
Tapi praktiknya sama dengan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS). Politisi lebih memilih langkah kuda, menggunakan data sendiri yang terindikasi berbasis konstituen. Sehingga proyek rusunawa mangkrak dan kurang maksimal dikelola Pemda, terjadi di beberapa titik.
Kekesalan Fahri Hamzah erat kaitan dengan hasil kunjungannya ke Lombok, 27 Desember 2024 lalu. Ia menyaksikan langsung gedung lima lantai itu mangkrak akibat perencanaan pembangunan dan penempatan lokasi yang tidak sesuai.
Biang kerok banyaknya proyek mangkrak adalah praktik persekongkolan antara pejabat daerah dan calo proyek. Ia menilai pembangunan kerap dipaksakan demi kepentingan pribadi, bukan berdasarkan kebutuhan ril rakyat.
“Itu (Proyek Rusun) awalnya persekongkolan anggaran,” tegas Fahri saat itu.
Menunggu Waktu Jadi Rumah Hantu
Rusunawa Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Lombok Timur itu masih berdiri kokoh namun bisu. Tak ada kehidupan di dalam dan sekitarnya. Hanya menunggu jadi hunian hantu dan sarang walet.
Dibangun pada 2016 lalu oleh Kemenpera RI. Pada rusun lima lantai itu, terdapat 144 unit hunian.
Padahal dihajatkan dengan niat baik. Peruntukkan masyarakat berpenghasilan rendah.
Sabtu 11 Januari 2025 lalu, NTBSatu menyambangi bangunan di Pelabuhan Kayangan, Kabupaten Lombok Timur ini.
Tampak dari luar halaman, bangunan yang dipagar dengan kawat besi tersebut sangat tak terurus. Halamannya dipenuhi semak belukar dan rumput liar.
Begitupun pada fisik bangunannya. Banyak kaca jendela pecah, terlebih di kamar-kamar lantai dasar. Pintunya pun banyak yang rusak.
Masuk ke dalam rusun, aroma bangunan mangkrak semakin pekat. Tak terhitung titik yang jebol pada langit langit bangunan.
Di dalam kamarnya, tak terlihat fasilitas lengkap laiknya tempat tinggal, hanya tersisa lemari besar dalam kondisi reot. Adapun beberapa ranjang tidur tergeletak di selasar rusun.
Meski terdampak gempa besar pada 2018 lalu, namun bangunan rusun itu masih kokoh. Tidak terdapat retakan serius padan dinding maupun pondasinya.
Menurut warga setempat, bangunan tersebut tidak pernah terisi oleh penyewa sejak dibangun.
“Kalau yang saya lihat, rusun ini cuma terisi pas dipakai karantina Covid-19 dulu itu,” ucap warga tersebut.
Menurut warga lain, Firman, yang kerap mancing di sana, kemungkinan logis sepinya rusun tersebut akibat jauh dari pemukiman padat penduduk.
“Jarang ada rumah dekat sini, paling satu dua,” ucapnya.
NTBSatu sempat meminta keterangan Plt Sekda Lombok Timur, Hasni, terkait terbengkalainya rusun tersebut. Namun ia mengaku tidak memiliki data rinci ihwal rusun tersebut.
“Bisa hubungi Dinas Perkim yang langsung membidangi,” jawab Hasni.
Sementara, Plt Kadis Perkim Lombok Timur, Mudahan, S.T., belum menjawab permintaan wawancara NTBSatu.
Berdasarkan pantauan, memang tidak terdapat pemukiman di sekitar rusun, mengingat letaknya di ujung ekor Pelabuhan Kayangan. Adapun beberapa pedagang dengan kontainer untuk memenuhi kebutuhan pegawai pelabuhan.
Sementara Fahri Hamzah mengakui sudah lama memendam tanda tanya onggokan bangunan mangkrak itu. Kesempatan itu datang setelah ia dilantik jadi Wamen PKP.
“Saya selalu bertanya-tanya, kenapa gedung ini tidak terisi, padahal lokasinya sangat strategis. Kondisi seperti ini terus menghantui pikiran saya sebelum menjadi Wamen PKP,” ungkapnya.
Jadi Atensi Jaksa dan KPK
Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB melalui Plt Asisten Intelijen (Asintel), Iwan Setiawan melirik permalasahan yang menyeret dana dari pusat seperti proyek rumah susun.
Jika memang terbukti ada permasalahan, kejaksaan akan turun tangan melakukan pendalaman. Namun sebelumnya, mereka terlebih dahulu akan menelusuri apakah rumah susun tersebut masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) atau tidak.
“Saya belum mendapatkan informasi untuk itu. Kalau ada informasi, kita bisa melakukan suatu pendalaman. Apakah itu masuk dalam PSN. Nanti kita dalami,” jelasnya menjawab pertanyaan NTBSatu, Selasa, 7 Januari 2024.
Begitu juga dengan Kasatgas Korsup Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dian Patria. Ia mengaku pihaknya tetap memperhatikan proses pemanfaatan anggaran atau proyek pusat yang turun ke daerah.
Menurutnya, Pemda NTB sangat bergantung pada bantuan pusat. Jumlahnya pun tak banyak. Jangan sampai, kata Dian, anggaran terbatas tersebut dikorupsi oleh sejumlah oknum.
“Dari kami, Satgas pencegahan siap melakukan supervisi. Makanya kami mendukung APH (polisi atau kejaksaan) yang menangani anggaran dana pusat,” ucapnya kepada NTBSatu di Gedung Graha Bhakti Praja, Kamis, 9 Januari 2024.
Nestapa di Rusunawa Kota Bima
Rusunawa Kayangan tak jauh berbeda dengan bangunan sama di Kelurahan Paruga, Kecamatan Rasanae Barat, Kota Bima. Proyek tahun 2014 ini tak terurus. Padahal gedung empat lantai itu sudah menghabiskan dana pemerintah pusat capai miliar rupiah.
Jadi satu-satunya bangunan tinggi dan megah di Kota Bima, Rusunawa ini strategis karena dekat dengan pasar dan pelabuhan. Di sekitarnya juga terdapat gudang-gudang besar yang memungkinan untuk menjadi lapangan pekerjaan bagi penghuni. Bahkan kala itu, warga berebutan untuk tinggal di gedung tersebut.
Sayangnya, kini bangunan tersebut tak terawat. Dari pantauan langsung di lokasi, sejumlah pintu kamar dan jendela terlihat jebol. Toilet umum sudah bertahun-tahun rusak dan tidak berfungsi. Besi pipa air, instalasi listrik hingga pagar pembatas tiap lantai tampak berkarat. Hampir di setiap tembok kamar penuh dengan coretan.
“Untuk masuk di Rusunawa ini semuanya harus kami perbaiki ulang. Pintu, jendela dan lain-lain. Syukur bagi mereka yang punya suami. Kami yang janda-janda ini harus mengeluarkan biaya lagi untuk sewa orang,” kata Dewi, penghuni kamar lantai tiga Rusunawa ditemui, Jumat, 10 Januari 2025.
Jadi Sumber Kriminalitas
Derita bagi penghuni Rusunawa Kota Bima begitu kompleks. Permasalahan air bersih juga masih soal lain bagi penghuni Rusunawa. Krisis air bersih terjadi bertahun-tahun akibat terputusnya suplai air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Bak penampung air yang di bangun di selatan Rusunawa tidak berfungsi sama sekali. Kini, warga Rusunawa hanya mengandalkan air bor dangkal yang tidak layak dikonsumsi. Kebutuhan air untuk mandi cuci kakus pun mereka harus berebutan.
Untuk mendapatkan air, warga penghuni harus mengambil langsung di tandon yang disediakan pemerintah di lantai dasar. Ada juga sebagian warga mengaliri dengan selang yang dibeli sendiri.
“Masih mending yang di lantai bawah dan dua. Kita yang lantai atas ini harus turun ambil sendiri, karena mesinnya gak kuat dorong,” pinta Lilis, penghuni lain di lantai tiga Rusunawa.
Di luar persoalan kebutuhan hidup, penghuni rusun juga masih dibayang-bayangi bahaya kriminalitas seperti pencurian dan premanisme. Bahkan di tempat itu kerap dijadikan pesta narkoba. Buktinya, belum lama ini ditemukan sisa alat hisap di lantai paling atas.
“Di Rusunawa memang sering terjadi kasus pencurian. Tabung gas, uang dan sejumlah barang berharga milik warga hilang dicuri. Ini sangat meresahkan warga kami,” kata Ketua RT 20 Rusunawa, Dahlan.
Dahlan mengakui, keberadaan Rusunawa rawan pencurian. Sebab, warga lain yang berkunjung ke Rusunawa tidak terkontrol dengan baik. Bebas keluar masuk. Meskipun di pintu masuk tetap dilakukan penjagaan anggota Satpol PP.
“Masalahnya di Rusunawa hanya bagian depan yang dipagar. Sementara samping kiri kanan belakang lahan terbuka. Siapapun bebas keluar masuk,” ungkap Dahlan.
Pihaknya sudah sering kali mengeluhkan kondisi itu. Termasuk kebutuhan air bersih, tapi tidak pernah disikapi serius.
“Bangunan Rusunawa ini juga banyak yang rusak dan tidak berfungsi. Kami juga mempertanyakan dana pemeliharaan itu dipakai untuk apa,” ujarnya heran.
Sejak Awal Salah Konsep
Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman (Perkim) Kota Bima, A Faruk mengaku tidak bisa berbuat banyak terkait kondisi Rusunawa. Terbatasnya anggaran pemeliharaan menjadi kendala pihaknya untuk memperbaiki kerusakan fasilitas di Rusunawa.
“Tiap tahun dana pemeliharaan hanya Rp 10 juta. Itupun hanya diperuntukkan bagi biaya penjagaan petugas keamanan dan kebersihan,” ungkap Faruk dihubungi, Sabtu, 11 Januari 2025.
Faruk mengakui, konsep rancangan pembangunan Rusunawa sudah salah sejak awal. Menurut dia, menempatkan Rusunawa di wilayah pesisir kota tidak tepat untuk jangka panjang. Sebab, di lokasi tersebut tidak didukung dengan ketersediaan air bersih yang layak
“Air bersih ini kebutuhan utama warga. Bayangkan sudah delapan kali kami lakukan bor kanada di lokasi tersebut, tapi mental juga. Sekarang yang bisa dilakukan hanya bor dangkal. Kualitas airnya tidak layak dikonsumsi. Rasanya bukan lagi payau, tapi asin,” kata dia.
Sementara jumlah warga penghuni kini semakin berkurang. Dari 190 kamar yang tersedia, yang terisi sekitar 70. Belum lagi iuran yang ditargetkan Rp151 juta pertahun, hanya mampu dicapai 40 persen.
Beda Nasib MBR di Lombok
Berbanding terbalik dengan Rusunawa untuk akomodasi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di Batu Layar, Lombok Barat. Kondisinya lebih baik dari di Bima. Pengelolanya, Dinas Perkirm NTB melalui UPTD Rusunawa.
Namun pada 2023, sasaran dari Rusunawa ini diperluas, Tidak lagi untuk MBR, melainkan masyarakat luas karena sepi peminat.
Pantauan NTBSatu pada Jumat, 10 Januari 2025, kondisi Rusunawa Batu Layar ini masih bagus dan asri. Warna catnya masih terang, tidak memudar, dan tidak ada tanda kerusakan akibat gempa atau hal lainnya.
Terdapat 42 kamar tipe 36, lengkap dengan dua kamar tidur, dapur, kamar mandi, ruang keluarga, dua kasur dan lemari, serta meja makan. Anggaran pembangunannya sebesar Rp101.454.000.000.
“Alhamdulillah seluruh kamar disewa,” kata Pengelola Unit Rusunawa Batu Layar, Hadi kepada NTBSatu, Jumat, 10 Januari 2025.
Adapun harga sewa terbagi menjadi tiga jenis. Bagi yang mendiami lantai satu dikenakan sewa sebesar Rp500.000 per bulan. Bagi yang mendiami lantai dua dikenakan sewa sebesar Rp400.000 per bulan. Sedangkan, bagi yang menyewa di lantai tiga dikenakan biaya Rp300.000 per bulan.
“Sejauh ini, di sini aman-aman saja. Karena kami menerima penyewa dengan persyaratan yang cukup ketat, berbeda dengan rusun-rusun lain. Harus ada SKCK sebagai tanda bahwa penyewa memiliki riwayan berperilaku baik,” jelas Hadi.
Pihaknya juga telah membuat tata tertib, seperti dilarang minuman keras, dilarang prostitusi, dan dilarang melakukan tindakan kriminal lainnya.
Potret Dikelola Pesantren
Bagi Kementerian PUPR, Rusunawa merupakan program pemerintah untuk memenuhi kebutuhan perumahan dan memberikan akomodasi bagi MBR untuk dihuni serta sewa.
Namun, dalam pelaksanaannya di NTB, pembangunan Rusunawa tersebut tidak hanya untuk akomodasi bagi MBR.
Terdapat beberapa yayasan pendidikan dan perguruan tinggi juga dibangunkan, untuk tempat tinggal santri dan mahasiswa. Di antaranya, Rusunawa Mahasiswa Universitas Mataram. Ada juga peruntukan Pondok Pesantren, tempat yang selama ini jadi lumbung suara ketika pemilu Legislatif.
Dari sekian Ponpes pengusul, berhasil goal seperti Ponpes Addinul Qayyim, Pondok Pesantren Nurul Haramain, Pondok Pesantran Al-Qimah dan Pondok Pesantren Usman Bin Affan.
Ketua Yayasan Pondok Pesantren Addinul Qayyim, Zahrul Maliki menjelaskan, pembangunan Rusunawa santri tersebut pada tahun 2013. Pengerjaannya oleh Balai Pelaksana Penyediaan Perumahaman (BPPP) Nusa Tenggara I.
“Tahun 2013 ada 5 pondok pesantren yang dapat di NTB. Termasuk kami di Pondok Pesantren Addinul Qayyim,” ungkapnya kepada NTBSatu, Selasa, 7 Januari 2025.
Rusunawa berupa satu tower block tiga tingkat dengan enam kamar yang besarnya seperti ruang kelas. Santri Pondok Pesantren Addinul Qayyim yang menempatinya secara gratis.
“Ukurannya sekitar 7 kali 8 meter, kapasitasnya bisa 20 sampai 25 santri. Kami hanya diberikan bangunannya saja, kalau perabotan seperti kasur untuk santri dari Pondok Pesantren,” jelas Zahrul.
“Kalau untuk anggaran tidak ingat, soalnya udah lama, 2013,” tambahnya.
Pantauan, kondisi Rusunawa di Pondok Pesantren Addinul Qayyim tampak masih bagus. Meskipun warna catnya sudah mulai memudar, serta bagian atap luar kecokelatan akibat bocor atau air merembes. Sementara kondisi kamarnya masih bagus, tidak ada tanda-tanda bocor.
Setelah diserahterimakan oleh BPPP Nusa Tenggara I tahun 2015, pengelolaan Rusunawa tersebut sepenuhnya di Yayasan Pondok Pesantren Addinul Qayyim.
“Rusunawa ini juga sudah beberapa kali kita perbaiki. Ada penambahan atap di sisi teras depan, supaya saat hujan tidak langsung kena dan warna cat sudah diganti. Kami tambahkan lapangan di depan, untuk tempat aktivitas para santri,” ujar Zahrul.
Antara Janji dan Realitas Memprihatinkan
Kota Mataram memiliki empat Rusunawa) yang tersebar di beberapa lokasi.
Dua di antaranya adalah Rusunawa Selagalas, yang dibangun pada 2008 dan Rusunawa Montong Are, yang rampung pada 2017. Namun, di balik fungsi strategisnya, kondisi fasilitas dan pengelolaannya masih jauh dari standar yang ideal.
Rusunawa Selagalas berdiri di atas lahan seluas 6.000 meter persegi dan memiliki 98 unit hunian tipe 24 yang dihuni oleh 94 keluarga. Meskipun secara fisik bangunan masih terlihat kokoh, pantauan di lapangan menunjukkan banyak masalah mendasar yang tidak tertangani.
Dari luar, bangunan tampak kotor dan kurang terawat. Sampah berserakan di basement, genangan air terlihat di beberapa area akibat saluran pembuangan yang tidak berfungsi optimal.
Salah satu penghuni, Rivo, yang tinggal sejak 2012, menceritakan bahwa dulu kawasan ini sempat menjadi zona rawan kriminalitas.
“Beberapa tahun lalu, sering ada pencurian sepeda motor. Bahkan, kawasan ini dikenal sebagai tempat transaksi narkoba dan prostitusi. Pada kunjungan dewan tahun 2017, mereka bahkan menemukan sampah kondom di selokan,” ungkapnya.
Namun, ia mengapresiasi perbaikan keamanan dalam beberapa tahun terakhir.
“Sekarang lebih aman. Tapi masalah kebersihan dan sanitasi masih jadi PR besar,” tambahnya.
Janji Hunian yang Belum Terpenuhi
Rusunawa Montong Are, yang diresmikan pada 28 Desember 2017 oleh Wali Kota Mataram Ahyar Abduh, juga menghadapi masalah serupa.
Meskipun tergolong baru, kondisi bangunan sudah menunjukkan tanda-tanda kurangnya perawatan.
Rusunawa ini terdiri dari 95 unit hunian yang tersebar di lima lantai, dengan setiap unit memiliki luas sekitar 24 meter persegi.
Pantauan di lokasi menunjukkan bahwa di beberapa sudut, dinding terlihat retak, cat mengelupas, dan fasilitas umum seperti tangga darurat dan lampu penerangan tidak berfungsi optimal. Anak-anak terlihat bermain di lingkungan yang kotor dan tidak aman.
Kepala UPTD Rusunawa, Lalu Sudana mengakui bahwa tantangan kebersihan menjadi salah satu masalah yang paling sulit ditangani.
“Kami terus berupaya memperbaiki fasilitas, tetapi kendala anggaran sering kali menjadi penghambat utama,” jelasnya.
Kondisi rusunawa di Kota Mataram mencerminkan persoalan mendasar dalam pengelolaan hunian vertikal di Indonesia, yaitu keterbatasan anggaran.
Pada 2017, Pemerintah Kota Mataram hanya mengalokasikan Rp500 juta per tahun untuk subsidi operasional tiga rusunawa, termasuk Montong Are dan Selagalas.
Dengan anggaran terbatas, pemeliharaan infrastruktur sering kali tidak optimal. Saluran air yang tersumbat, tangga rusak, hingga minimnya fasilitas ruang hijau menjadi masalah yang terus berulang. Padahal, rusunawa dirancang untuk menjadi solusi hunian layak bagi masyarakat kelas bawah.
Ancaman Kesehatan Penghuni
Pengelolaan fasilitas yang buruk tidak hanya berdampak pada kenyamanan penghuni, tetapi juga kesehatan mereka. Lalu Sudana menyoroti risiko “sick building syndrome” yang kerap menghantui penghuni rusunawa.
“Ketiadaan ruang hijau, pencahayaan alami yang minim, dan lingkungan yang monoton bisa memengaruhi kesehatan fisik dan mental penghuni. Ini harus menjadi perhatian serius,” ujarnya.
Salah satu penghuni, yang enggan disebutkan namanya, mengeluhkan dampak buruk lingkungan rusunawa terhadap keluarganya. “Anak-anak sering sakit. Lingkungan yang kotor membuat kami khawatir,” katanya.
Tanggapan Pemkot dan Usulan Wamen PKP
Wali Kota Mataram, Mohan Roliskana mengakui adanya tantangan besar dalam pengelolaan rusunawa.
Masalah rusunawa di Kota Mataram tidak hanya soal anggaran, tetapi juga komitmen dan tata kelola yang efektif. Kebersihan, keamanan, dan pemeliharaan fasilitas harus menjadi prioritas utama.
Selain itu, diperlukan pendekatan berbasis komunitas untuk membangun kesadaran penghuni terhadap pentingnya menjaga lingkungan.
Rusunawa adalah cerminan bagaimana pemerintah daerah menangani masalah hunian untuk masyarakat miskin.
“Jika dikelola dengan baik, rusunawa dapat menjadi solusi nyata. Namun, jika dibiarkan seperti saat ini, rusunawa hanya akan menjadi beban bagi pemerintah dan penghuni,” ungkap Mohan.
Selain masalah kebersihan, rendahnya minat masyarakat terhadap hunian vertikal juga menjadi hambatan dalam mengoptimalkan rusunawa.
“Kami menyadari tantangan ini, terutama terkait budaya masyarakat yang masih memilih rumah tapak. Namun, kami optimis dengan edukasi dan pengelolaan yang lebih baik, rusunawa dapat menjadi solusi jangka panjang,” ungkapnya.
Sementara itu, Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (Wamen PKP), Fahri Hamzah, menilai bahwa rusunawa dapat menjadi solusi strategis untuk menata kawasan kumuh di Kota Mataram.
“Pemerintah pusat sudah menyiapkan anggaran untuk pembangunan 3 juta rumah secara nasional, termasuk rumah susun untuk kota-kota yang masih memiliki kawasan kumuh,” ujarnya.
Namun, ia menegaskan bahwa keberhasilan program ini tergantung pada kesiapan pemerintah daerah dalam menyediakan lahan dan fasilitas pendukung.
Jalur “Langit” Proyek Rusun
Perjuangan mendapat proyek gampang gampang susah. Harapan punya aset gedung hunian layak akan sia-sia.
Pengalaman harus menggunakan jalur bypass maupun jalur langit untuk tembus proyek kementerian ini dirasakan Yayasan Pondok Pesantren Addinul Qayyim. Ketua Yayan Pondok Pesantren Addinul Qayyim, Zahrul Maliki mengaku, tidak mudah mendapatkan pembangunan Rusunawa untuk tempat tinggal santri ini.
Sebab pada tahun 2013, bukan pertama kalinya Pondok Pesantrean Addinul Qayyim mengusulkan.
Bahkan, ketika mendapat bantuan Rusunawa tahun 2013, pengusulannya tidak melalui Kantor Kementerian Agama Lombok Barat, Kanwil Kementerian Agama NTB, maupun Dinas Perkim.
Tapi usulannya melalui seseorang yang tak disebutkan identitasnya.
“Pengusulannya melalui koordinasi orang tertentu, kami diundang untuk melakukan pertemuan. Kami didatangi untuk survei oleh Kementerian PUPR, diundang ke Jakarta untuk melengkapi syarat-syarat tertentu. Cuman dalam pelaksanaannya ada koordinasi dengan mereka, tetapi untuk mendapatkannya tidak melalui itu,” tutup Zahrul.
SJP Ambil Peran
Anggota Komisi V DPR RI Fraksi PKS Periode 2019 – 2024, Suryadi Jaya Purnama atau karib disapa SJP menampik anggapan proyek berbasis konstituen.
Proses pengusulan pembangunan Rusunawa berdasarkan usulan dari Pemerintah Daerah (Pemda) atau lembaga pendidikan. Ia sebagai legislatif hanya mengawal sampai proyek selesai.
“Yang usul Pemda. Ada korban penggusuran di Bintaro, Ampenan dan lain-lain,” cetusnya.
Ia juga menampik, tentang anggapan yang berkembang bahwa banyak pembangunan Rusunawa di Lombok tidak melalui perencanaan yang matang.
“Lihat lokasinya, merata. Karena Pemda yang usul, maka tugas Pemda untuk pemanfaatannya,” imbuh SJP.
Memang ada temuan Rusunawa mangkrak. Tapi itu hanya satu unit, Rusunawa Kayangan, Labuhan Lombok, Lombok Timur. Itu pun jauh sebelum ia terpilih jadi legislator.
“Rusun itu dibangun sebelum saya menjabat,” ujar SJP.
Selebihnya berfungsi dan dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok MBR maupun pondok pesantren.
“Yang kita bangun beberapa, mulai dari rusun nelayan Pantai Ampenan di Bintaro. Kemudian di Bengkel, dan beberapa pondok pesantren di Lombok Timur juga Lombok tengah,” sebut SJP kepada NTBSatu, Rabu, 16 Januari 2025.
Namun berapa total Rusunawa yang telah dibangun di NTB, SJP lupa datanya. Hanya yang ia ketahui kisaran anggarannya beragam. Ada yang Rp3 miliar, Rp4 miliar dan belasan miliar di satu lokasi.
Mantan Ketua KAMMI NTB ini, memberikan saran sebagai bahan perbaikan dan evaluasi pembangunan Rusunawa ke depan, khususnya di Provinsi NTB.
“Rusun, hanya cocok di perkotaan daerah padat dan lembaga pendidikan. Seperti pondok pesantren dan kampus. Kalau di desa tidak cocok,” jelasnya.
NTBSatu juga berusaha mendapat komentar dua utusan rakyat dari Dapil NTB 1, Johan Rosihan dan Mori Hanafi terkait tata kelola Rusunawa di NTB. Johan Rosihan enggan menjawab karena bukan tupoksi komisinya. Sementara Mori Hanafi tak merespons chat dan telepon NTBSatu.
P2P Bungkam, Perkim Terhambat
Pembangunan rumah susun di Provinsi NTB terus menunjukkan peningkatan signifikan, mencakup berbagai kabupaten dan kota sejak tahun 2008 hingga 2024. Berdasarkan data terbaru, total pembangunan mencakup 49 Tower Block (TB) yang terdiri dari 1.728 unit kamar rusun.
Proyek ini mencakup berbagai segmen penerima manfaat sebagai pertimbangan pembangunan, mulai dari peserta didik, Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), hingga Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kepala Dinas Perkim Provinsi NTB, Sadimin mengatakan, sejauh ini hanya satu rusunawa yang terbengkalai, yaitu Rusunawa Labuhan Lombok. Tak adanya penghuni di rusun tersebut lantaran tidak adanya sumber air serta kerusakan akibat gempa 2018.
Ia menyebut, yang membangun dan melaksanakan proyek tersebut langsung BP2P dengan Tim Monev dari masing-masing Kabupaten/Kota penerima manfaat.
“Kami sebatas koordinasi saja. Tidak tahu detailnya mulai pengusulan, perencanaan, pelaksanaan sampai pemanfaatannya,” jelas Sadimin kepada NTBSatu saat dihubungi melalui telepon WhatsApp, Jumat, 10 Januari 2025.
Koordinasi yang dimaksud Sadimin adalah termasuk meminta data pembangunan rusunawa di masing-masing kabupaten dan kota. Sementara pengusulannya, langsung oleh Dinas Perkim Kabupaten dan Kota ke Pusat melalui aplikasi Sibaru.
“Dinas Kabupaten dan Kota langsung mengusulkan ke Pusat. Kami di Provinsi sifatnya hanya mengawasi pengusulan tersebut,” ujarnya.
Terpisah, Balai Pelaksana Penyediaan Perumahan (P2P) Nusa Tenggara I selaku penyusun program dan anggaran pelaksanaan pembangunan rumah susun, enggan memberikan data anggaran rupiah dalam pembangunan tiap rusun tersebut.
NTBSatu menyambangi Kantor P2P di Jalan dr. Soedjono Lingkar Selatan Jumat, 3 Januari 2025. Kata petugas jaga, pegawai sedang ambil cuti.
Kembali NTBSatu mencoba bertemu pihak Balai P2P Selasa, 7 Januari 2025, tak ada satu pun berkomentar, justeru disarankan mengajukan surat sebelum wawancara.
Kasi Pelaksanaan BP2P, Putri menyebutkan, untuk wawancara, ia menyarankan untuk langsung ke kantor dengan membawa surat permohonan data.
“Untuk semua media dan juga instansi pemerintahan atau lembaga lain terkait, berlaku sama. Wajib memasukkan surat terlebih dulu,” ungkapnya.
Jumat, 10 Januari 2025 kemarin, NTBSatu juga kembali mencoba ke Kantor BP2P Nusa Tenggara I. Haslinya sama.
Bersihkan Rusun dari Praktik Kotor
Transparansi pejabat dan keterbukaan informasi jadi salah satu celah subur kong kalikong proyek kakap Rusun.
Wamen PKP Fahri Hamzah bertekad menyelesaikan persoalan tersebut dengan menjadikan rusunawa sebagai contoh penanganan yang baik di daerah.
Sebab salah satu alasan utama mangkraknya sejumlah proyek perumahan di daerah, termasuk Rusunawa, adalah adanya permainan dalam proyek oleh oknum-oknum pejabat daerah.
Ia menekankan pentingnya memiliki konsep pembangunan yang jelas sejak awal, mulai dari perencanaan hingga eksekusi, agar proyek tidak sia-sia.
“Ke depan, pembangunan tidak boleh dilakukan tanpa perhitungan matang. Kasihan uang rakyat habis hanya untuk beli beton yang akhirnya mangkrak,” jelasnya.
Ia mendorong agar instansi pemerintah manfaatkan ahli lokal dan hentikan kepentingan pribadi.
“Mari kita junjung tinggi integritas. Jangan mau terlibat dalam rencana yang tidak diperlukan. Kalau pekerjaan ini benar, pasti akan bermanfaat bagi rakyat,” tegas Fahri. (*)
Editor / Penanggung Jawab: Haris Mahtul
Tim Liputan:
- Haris Mahtul
- Zhafran Zibral
- Muhammad Yamin
- I Gusti Ayu Pramesita Saraswati
- Khairurrizki
- Zulhaq Armansyah
- Alan Ananami