Padahal, ide beasiswa NTB ini telah dikelola dengan sistem dan manajemen yang sangat profesional.
“Tapi pas awal-awal langsung ribut dan gaduh,” kenang alumni Fakultas Ekonomi UI ini.
Paling ekstrem, ada mencurigai beasiswa sebagai program terselubung penjualan manusia atau human trafficking.
Padahal endowment fund atau dana abadi untuk program berkesinambungan ini dikelola dengan baik dan manajemen profesional.
“Oleh pengelolanya, bisa diinvestasikan ke UMKM-UMKM kita. Sehingga muter terus dan meningkat terus jumlahnya. Seperti Private Equity Firms,” sambungnya.
Berita Terkini:
- Program 100 Hari Iron – Edwin, Prioritaskan Sektor Pendidikan hingga Pengembangan BUMD
- Polisi Geledah Kantor Dikbud NTB
- Menelusuri Jejak PMI Legal Asal NTB: Datang Aman, Bekerja Nyaman, Pulang pulang Tajir!
- Kabid SMK di Mata Kadis Dikbud NTB: Mampu Melaksanakan Tugasnya
Kekhawatiran Pemprov NTB saat ini sebenarnya tidak akan terjadi jika saat awal beasiswa diluncurkan, terhindar dari kegaduhan. Tawaran awal konsep penganggaran beasiswa yang sama sekali tidak menyentuh APBD.
Akan tetapi, desakan untuk menggunakan APBD pada saat itu semakin menguat, dikarenakan pembiayaan melalui dana CSR-CSR dikhawatirkan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
“Tapi karena gaduh dan ribut dan saya kebetulan nggak begitu mengenal siapa-siapa teman-teman di NTB secara detail maka saya ikutilah rekomendasi teman-teman untuk lewat APBD saja agar pertanggungjawabannya clear dan tidak menimbulkan praduga-praduga yang tak produktif,” terangnya.
Namun situasinya berbalik setelah pergantian kepemimpinan. Beasiswa muncul kembali, seolah olah jadi sumber masalah pembiayaan APBD.
“Setelah dimasukkan melalui APBD seperti sekarang ribut dan gaduh lagi,” sesalnya. (ADH)