Mataram (NTB Satu) – Salah satu tersangka kasus dugaan korupsi penyaluran dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) BNI di Lombok Timur, berinisial LRA mengaku siap membuka data di persidangan. Kasus dengan potensi kerugian negara sebesar Rp29,95 miliar itu diyakini tidak hanya dinikmati sendiri melainkan banyak orang.
“Klien kami siap membuka data terkait aliran dana kasus tersebut di persidangan nanti,” kata penasihat hukum LRA, Satrio Edi Suryo kepada wartawan.
Pengakuan kliennya, dari kerugian negara tersebut yang dinikmati sendiri kurang dari Rp5 miliar. Dia pun memastikan, kliennya akan membuka secara terang benderang mengenai perkara ini.
Termasuk bukti transfer ke penerima aliran dana juga sudah dimiliki, tinggal menunggu jadwal persidangan saja. “Bukti penerima aliran dana sudah ada baik itu transfer maupun secara tunai dan akan kami buka nanti di persidangan,” sebutnya.
Disinggung terkait nama-nama penerima aliran dana panas tersebut, dia masih enggan memberikan informasi lebih lanjut karena masih menunggu jadwal persidangan. Tetapi yang jelas, kliennya siap membuka data para penerimanya baik yang tunai maupun transfer.
“Nanti pasti kami sampaikan siapa-siapa penerima aliran dananya, termasuk indikasi uang Rp29,95 miliar itu digunakan untuk menutupi biaya KUR bermasalah sebelumnya sekitar Rp11 miliar,” tandasnya.
Kasus ini bermula pada Agustus 2020. Ketika itu, Dirjen salah satu kementerian melakukan pertemuan dengan para petani di wilayah selatan Lombok Timur. Dalam pertemuan itu, Dirjen tersebut memberitahukan terkait adanya program KUR untuk para petani.
Informasi tersebut ditindaklanjuti dengan pengajuan nama petani yang diusulkan mendapatkan kredit. Untuk petani jagung sekitar 622 orang yang tersebar di lima desa. Yang paling banyak adalah petani jagung di Desa Ekas Buana dan Sekaroh Kecamatan Jerowaru.
Setiap petani dijanjikan pinjaman sebesar Rp15 juta per hektare dengan total luas lahan mencapai 1.582 hektare. Sementara petani tembakau yang tercatat sebagai penerima KUR ini sekitar 460 orang.
Sebagian besar adalah petani tembakau di Kecamatan Keruak dan Jerowaru. Setiap petani dijanjikan dana KUR mulai Rp30 juta sampai Rp50 juta per orang. Para petani yang terdata sebagai penerima KUR diwajibkan menandatangani berkas-berkas pendukung untuk kelancaran pengajuan pinjaman.
Proses penandatanganan dilakukan petani jagung di lima desa di wilayah Kecamatan Jerowaru yang melibatkan pihak ketiga atau off taker yaitu CV. Agro Briobriket dan Briket (ABB) serta oknum pengurus HKTI NTB sebagai mitra pemerintah dan BNI Cabang Mataram sebagai mitra perbankan dalam penyaluran KUR.
Saat proses pengajuan KUR, pihak BNI langsung turun meminta tanda tangan para petani dengan dilengkapi berkas pinjaman. Skema KUR tani melibatkan pihak ketiga atau off taker, yaitu CV ABB. Perusahaan atau off taker ini kuat dugaan ditunjuk langsung dari pihak kementerian, termasuk salah satu organisasi di NTB yang bergelut di bidang pertanian.
Namun persoalan muncul ketika sejumlah petani yang ingin mengajukan pinjaman di BRI tidak bisa diproses. Mereka dinilai keuangannya bermasalah karena memiliki pinjaman dan tunggakan KUR di BNI. Tunggakan mereka pun beragam, mulai dari Rp15 juta hingga Rp45 juta tergantung dari jumlah luas lahan yang dimiliki.
Sementara petani ini mengaku tidak pernah menerima dana kredit itu. Kasus ini ditangani atas laporan masyarakat, terutama para petani yang menjadi korban pengajuan KUR fiktif di BNI. Permasalahannya yaitu para petani kesulitan untuk mendapatkan akses pinjaman di bank.
Hal tersebut disebabkan karena para petani telah tercatat namanya sebagai penerima pinjaman KUR di BNI. Padahal para petani sama sekali tidak pernah menerima dana KUR tersebut. Total petani yang tercatat sebagai penerima KUR fiktif ini sekitar 460 orang. Sebagian besar petani tembakau di Kecamatan Keruak dan Jerowaru. Dari jumlah tersebut total pinjaman KUR fiktif dengan menjual nama petani mencapai Rp16 miliar lebih. (MIL)