Site icon NTBSatu

Isu Pembangunan Berketahanan Iklim Perlu Dimasukkan dalam RPJMD NTB

Foto : Lokakarya Penguatan Advokasi Kebijakan untuk Adaptasi Perubahan Iklim Kedalam Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (NTB Satu/ZSF)

Mataram (NTB Satu) – Isu-isu terkait dengan pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim semakin banyak pihak yang memberi perhatian. Hal ini tak terlepas dari perubahan iklim yang semakin dirasakan oleh masyarakat. Konsorsium untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (Konsepsi) bersama sejumlah pihak menghendaki agar isu pembangunan berketahanan iklim ini perlu dimasukkan dalam RPJMD NTB.

Pada Selasa 15 November 2022, digelar kegiatan Lokakarya Penguatan Advokasi Kebijakan untuk Adaptasi Perubahan Iklim Kedalam Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim di NTB di Mataram dengan mengundang komunitas masyarakat, LPPM perguruan tinggi, NGO lingkungan dan pihak terkait lainnya.

Mewakili Ketua Konsepsi, Eko Krismantono mengatakan, kegiatan ini merupakan kelanjutan dari program sebelumnya melalui project DECCAP (Deepening Climate Adaptation for Prosperity) yang dimulai dari April – Desember 2022. Konsepsi bekerjasama dengan Yayasan Islami Relief Indonesia, Islamic Relief Swedia dan Forum Civ.

“Muaranya ke depan yaitu RAD API dan RAD GRK yang sedang kami inisiasi melakukan monitoring dan evaluasi bisa bergerak ke arah pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim. Paling tidak kita di NTB tidak ketinggalan dengan isu yang berkembang di tingkat nasional,” katanya.

Sementara itu Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana Provinsi NTB Dr. Rahmat Sabani mengatakan, dalam hal konsolidasi informasi dan data terkait dengan pembangunan rendah karbon, Provinsi NTB pernah berwarna merah. Namun sehingga setelah dilakukan penyelesaian melalui aplikasi Aksara, NTB kini warnanya menjadi hijau. Dengan demikian Provinsi NTB sudah bisa membangun MoU dengan Bappenas terkait dengan pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim.

“Hasil dari input data di aplikasi Aksara itu menjadi landasan bagi kita untuk sama-sama mendorong dan mengawal pembangunan rendah karbon dan perubahan iklim dalam kerangka kebijakan di daerah. Harapannya isu ini agar bisa masuk dalam RPJMD kita,” ujar Rahmat Sabani.

Dr. Markum dari Fakultas Pertanian Unram yang memberikan materi dalam lokakarya itu mengatakan, faktor utama dalam perubahan iklim adalah perubahan suhu bumi. Di Provinsi NTB, rata-rata suhu sudah naik cukup signifikan dan dirasakan oleh masyarakat.

“Perubahan suhu bumi dipicu oleh emisi gas rumah kaca. Kalau kita lihat trennya dari tahun 1971 – 2010 ada kecenderungan kenaikan. Normalnya kenaikan suhu bisa ditolelir dalam 100 tahun naikknya 1 drajat celcius, namun yang terjadi adalah dalam 50 tahun, namun sudah mengarah ke 2 drajat celcius,” katanya.

Data dari BMKG dalam 10 tahun terakhir (2010 – 2020) menunjukkan ada kenaikan curah hujan terutama di bulan Oktober – Desember dibandingkan dengan 10 tahun sebelumnya. Bahkan hujan sering terjadi dengan cukup ekstrem seperti yang sering terlihat saat ini. Tentu kondisi ini berdampak pada penerimaan bumi terhadap curah hujan yang berlebihan itu.

Dampak perubahan iklim di NTB meliputi pertanian, kesehatan, pesisir kelautan, serta kehutanan. Di bidang pertanian, dampaknya yaitu intensitas tanam berkurang, gagal tanam/panen, produksi berkurang dan serangan hama/penyakit. Di bidang pesisir kelautan dampak perubahan iklim terlihat pada jumlah tangkapan ikan yang menurun, banjir rob, abrasi pantai dan lainnya.

“Di bidang kesehatan, perubahan iklim memunculkan krisis air bersih, meningkatnya perkembangbiakan serangga pembawa penyakit dan di bidang kehutanan dampaknya pada gagal panen, serangan hama penyakit, longsor dan banjir,” katanya.(ZSF)

Exit mobile version