Dewan Pers : Jurnalis Hindari Glorifikasi Aksi Terorisme

Mataram (NTB Satu) – Tidak semua fakta bisa diberitakan, tapi setiap fakta yang bernilai berita harus dikemas dalam narasi yang baik agar tersampaikan dengan rasa tanggung jawab kepada masyarakat. Jurnalis dalam memberitakan aksi terorisme menghindari cara cara glorifikasi pada tindakan terorisme, sehingga tidak jadi sumber inspirasi orang lain melakukan kejahatan sama.

Itulah yang mengemuka dalam workshop “Peran Pers dalam Pencegahan Paham Radikalisme dan Terorisme untuk Mewujudkan Indonesia Harmoni” yang digelar Dewan Pers Bersama Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), Senin 7 November 2022.

Plt. Ketua Dewan Pers M. Agung Dharmajaya menekankan betapa pentingnya jurnalis mengedepankan kode etik dan hati nurani dalam memberitakan peristiwa terorisme. Ia mencontohkan, kutipan salah seorang pelaku terorisme menyampaikan testimoni sebelum beraksi.

“Ini fakta memang, tapi harus disampaikan dengan cara yang baik, agar tidak mempengaruhi orang lain melakukan kejahatan yang sama. Hindari car acara glorifikasi dalam pemberitaan,” kata Agung di hadapan puluhan jurnalis.

Perlu diingat, kata Agung, jurnalis harus berangkat dari itikad baik sebelum memberitakan kejahatan teroris yang disebut sebagai extra ordinary crime. Ia membeberkan bagaimana pedoman jurnalis dalam meliput faham terorisme. Salah satu poinnya, Wartawan harus menghindari pemberitaan yang berpotensi mempromosikan dan memberikan legitimasi maupun glorifikasi terhadap tindakan terorisme maupun pelaku terorisme.

Karena ruang kerjanya pada ruang publik, wartawan ditekankan harus selalu menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan jurnalistik. Wartawan yang mengetahui dan menduga sebuah rencana tindak terorisme wajib melaporkan kepada aparat dan tidak boleh menyembunyikan informasi itu dengan alasan untuk mendapatkan liputan eksklusif. Wartawan bekerja untuk kepentingan publik sehingga keselamatan nyawa warga masyarakat harus ditempatkan di atas kepentingan berita.

“Karena yang perlu diingat, ada tanggung jawab besar di pundak teman teman media adalah publik. Jika tidak mampu, siap siap ditinggalkan masyarakat,” tegas praktisi media yang juga pengurus Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) ini.

Pada kesempatan itu ia mengingatkan perusahaan media selain berpedoman pada Undang Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, juga melengkapi dengan badan hukum. Karena badan hukum pers akan menentukan perilaku jurnalis dalam bekerja. Sebaliknya, jurnalis banyak terjebak pada pelaku menyimpang akibat tidak taat kode etik.
“Ada 800 pengaduan masuk ke Dewan Pers, 90 persen adalah media online. Rata rata mereka tidak taat dan tunduk kepada kode etik jurnalistik,” tutup Agung.

Kol. Setiyo Pranowo, SH.,MM Kasubdit Pengamanan Lingkungan BNPT pada kesempatan sama memberikan pemahaman tentang orientasi para pelaku aksi radikalisme. Mereka menunggangi agama sebagai cara pembenaran untuk melegalkan aksi terorisme. Inilah disebutnya sebagai orientasi agama dalam aksi terorisme.

“Terorisme ini melihat agama sebagai sarana ibadah kepada Tuhan,” sebutnya. Sebagaimana gerakan radikal ISIS dan beberapa kelompok lainnya di dalam negeri.

Pola semacam ini harus dipahami para jurnalis agar tersampaikan kepada masyarakat sehingga lebih meningkatkan kewaspadaan dini. (HAK)

Exit mobile version