Site icon NTBSatu

Mengenang Rusdi Tagaroa, dari Pikirannya Banyak Melahirkan Aktivis NTB

Rusdi tagaroa. Foto : Ist

Mataram (NTB Satu) – Orang-orang menyebutnya sebagai guru dan ayah yang tumbuh melalui gerakan aktivisme sejak masih duduk di bangku perkuliahan. Ia adalah Rusdi Tagaroa.

Rusdi dikenal sebagai sosok yang memberi ruang dan mendorong para “adik serta anaknya” untuk berjalan dalam dunia aktivisme dengan penuh rasa cinta, sementara ia bergumul dengan kesendirian dan kesunyiannya sembari menghasilkan aneka pikiran dan gagasan.

Kiprahnya dalam dunia aktivisme dimulai sejak 1987 saat memutuskan untuk hijrah dari Situbondo, Jawa Timur untuk berkuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Mataram. Sejak saat itu, ia kerap terlibat dalam berbagai gerakan mahasiswa, seperti dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Mataram (FKMM).

Setelah kepergian Rusdi Tagaroa pada 20 Agustus 2022, NTB Satu hadir dalam acara doa bersama untuk Rusdi, dan bertemu dengan rekan terdekat Rusdi, salah satunya Sirra Prayuna, sahabat dekat Rusdi sejak 1990.

Pada Senin, 22 Agustus 2022, NTB Satu berbincang dengan Sirra Prayuna di sebuah kafe di Kota Mataram. Sirra Prayuna mengenal Rusdi Tagaroa sejak 1990, saat Sirra tengah menempuh pendidikan semester dua di Fakultas Hukum, Universitas Mataram.

Pada saat berbincang dengan NTB Satu, Sirra langsung menyampaikan pesan terakhir dari Rusdi untuk Sirra, yang cukup menohok.

“Saat saya melawat Rusdi ke rumah sakit, (Rusdi bilang) jangan pernah meninggalkan dunia aktivisme, Bung,” ucap Sirra menirukan Rusdi.

Rusdi lahir di Situbondo, Jawa Timur, pada 28 Agustus 1963, kemudian meninggalkan dunia pada 20 Agustus 2022.

Dari cerita-cerita yang berseliweran, Rusdi merupakan sosok sederhana. Kendati demikian, ia kerap melahirkan pemikiran-pemikiran yang tidak sederhana. Hal tersebut, membuat Sirra secara personal, menganggap bahwa Rusdi adalah sosok sahabat, guru, bahkan seorang ayah.

“Saya menganggapnya sebagai seorang ayah lantaran ia selalu mengerjakan tugas domestik seperti memasak, menyuci piring, serta berbagai kegiatan kecil lainnya yang diperuntukkan bagi para junior-juniornya,” cerita Sirra.

Dengan nafas yang tersedu serta pandangan yang masih kosong akibat tak percaya telah ditinggalkan oleh Rusdi, Sirra menceritakan bahwa Rusdi adalah sosok yang kaya akan gagasan serta selalu menyumbang aneka pikiran mengenai gerakan aktivisme yang pernah digalakkan.

Sirra mengisahkan, Rusdi memandang ilmu ekonomi sebagai hal yang selalu memiliki hubungan dengan teori pembangunan yang bersifat bottom up and top down. Dengan segudang perspektif terhadap berbagai hal membuat Rusdi hadir sebagai sosok intelektual. Ia juga merupakan sosok pendorong sekaligus pendobrak berbagai gerakan mahasiswa.

Ketika Sirra melawat Rusdi di rumah sakit, ia selalu memberikan candaan yang lucu dan menelepon seorang teman yang memiliki selera humor tinggi.

“Terakhir kali, saya bertemu dengan Rusdi ketika suster menyuntikkan berbagai obat. Sejak zaman mahasiswa, saya memang sudah tahu penyakit beliau,” terang Rusdi.

Menurut Sirra, Rusdi selalu berpesan agar meneruskan jalan perjuangan dunia aktivisme, sebab tidak ada rumah sakit yang dapat membantu Rusdi keluar dari penyakit Liver yang ganas. Namun, Sirra pun selalu menimpali Rusdi agar lebih fokus dalam proses penyembuhan.

“Saya menimpali agar jangan lagi bicara soal republik yang ruwet ini,” ucap Sirra.

Kejutan-kejutan dalam hidup Rusdi memang tak pernah berakhir. NTB Satu kemudian berbincang dengan sahabat Rusdi yang lain, yakni, Dwi.

Kendati memiliki segudang perspektif, siapa yang menyangka bahwa Rusdi adalah sosok yang pemalu dan tidak suka tampil di ruang publik. Sebab, menurut cerita dari Dwi, Rusdi telah memilih kesunyian sebagai jalan hidup. Kesunyian tersebut kemudian direpresentasikan melalui proses menulis, berpikir, menstimulus gagasan, serta mendorong para junior untuk selalu bergerak melalukan segudang proses advokasi, pembelaan, pemberdayaan dalam ruang lingkup organisasi.

“Jadi, wajar apabila sosok Rusdi tidak diketahui oleh banyak orang. Karena, Rusdi memang memilih jalan sunyi. Rusdi adalah produk gagasan, peracik pikiran, yang sama sekali tidak pernah tampil di berbagai platform, baik cetak mau pun elektronik. Rusdi adalah sosok yang selalu memberi adik dan anaknya berbagai referensi bacaan, seperti Arif Budiman, Karl Marx, hingga Pramooedya Ananta Toer. Buku-buku yang disarankannya selalu relevan dengan gerakan-gerakan yang dahulu, bahkan hingga sekarang kami perjuangkan,” sebut Dwi.

Walaupun hadir sebagai sosok yang dihormati sekaligus dicintai, Rusdi tidak pernah menempati posisi ketua atau pun direktur lembaga tertentu, termasuk di gerakan FKMM. Forum yang mempertemukan Sirra dengan Rusdi. Nama Rusdi dalam gerakan mahasiswa Mataram tidak pernah dapat dilepaskan.

Pada 1991, Rusdi membentuk Gerakan Anti Pembodohan (GAP) yang selalu menuntut pemerintah agar menurunkan uang SPP, memberi pendidikan politik, serta menjauhkan NKK dari gerakan mahasiswa.

Sebagai informasi, NKK adalah Normalisasi Kehidupan Kampus yang dibuat pada 1978 untuk membekukan aktivitas mahasiswa serta kegiatan politik di kampus.

Di luar gerakan kemahasiswaan, Rusdi banyak terlibat dalam memperhatikan aktivitas buruh migran, solidaritas perempuan, serta Lembaga Pembela Hak Sipil dan Politik.

Bentuk fisik hasil pemikiran-pemikiran Rusdi sangat banyak. Hanya saja, cukup berserakan. Oleh karena itu, sebagai arsip, kawan-kawan Rusdi akan mengumpulkan seluruh tulisan tersebut menjadi sebuah buku.

“Saat ini tengah dalam proses konsolidasi dengan berbagai kawan,” Dwi.

Kemudian, NTB Satu menuju kawan Rusdi yang lain, yakni Burhanuddin. Tak disangka, Rusdi yang disebut-sebut sebagai sosok pemalu justru pernah tergabung dalam kelompok teater, yakni Bengkel Aktor Mataram yang didirikan oleh Kongso Sukoco.

Seluruh kawan Rusdi, termasuk Burhanuddin, selalu bersemangat dan merasa bahwa butuh waktu yang panjang manakala membahas figur dan kiprah sosok guru dan ayah tersebut.

“Rusdi dapat mempertemukan teman-teman kesenian dan aktivis yang akhirnya dapat menghasilkan gerakan nyata yang lebih bersifat kemasyarakatan,” papar Burhanuddin.

Beririsan dengan cerita dari Sirra, Burhanuddin menceritakan bahwa Rusdi ialah sosok intelektual yang gemar menggoreng tempe dan memberikan kepada junior-juniornya.

“Suatu pagi, Rusdi menggoreng tempe yang sangat tipis, yang kemudian saya tafsir sebagai hal pemerataan untuk teman-teman yang lain,” ungkap Burhanuddin.

Rusdi adalah tokoh pengajar yang secara bersamaan tidak pernah menggurui.

Dari cerita-cerita mengenai gerakan aktivisme yang telah dilalui Rusdi Tagaroa, seakan mengingatkan kembali bahwa pergerakan dunia aktivisme tidak melulu perihal orasi yang bersuara keras-keras. Tidak dapat ditampik bahwa, dunia aktivisme pun membutuhkan sosok sunyi yang walaupun demikian tetap menyuplai aneka keperluan.

Kini, si aktivis sekaligus guru dan ayah, telah kembali kepada yang “sejati”, dan hanyut lebih dulu ke dalam arus “aktivisme sungguhan”. (GSR)

Exit mobile version