Mataram (NTB Satu) – Kabar panas mengenai dugaan fee proyek Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik untuk SMA dan SMK di NTB terus bergulir. Sampai saat ini, Kejaksaan Tinggi NTB sedang mendampingi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB terkait rencana penyaluran DAK tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) NTB, Ramli Ernanda mengatakan, telah menelisik kasus tersebut melalui sudut pandang politik anggaran. Apabila Dinas Dikbud NTB memang merasa tidak melanggar ketentuan apapun, Ramli menyarankan agar masyarakat diizinkan mengakses proses pemantauan dan pengawasan terkait penyaluran DAK.
“Dalam proses penyaluran DAK, Dinas Dikbud NTB memilih swakelola tipe satu, yang berarti proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan di bawah kuasa OPD terkait,” ungkap Ramli, ditemui NTB Satu di Kantor Fitra NTB, Mataram, Selasa, 16 Agustus 2022.
Menurut Ramli, proses penyaluran DAK menggunakan tipe swakelola tipe satu sangatlah rentan dan rawan praktik korupsi. Pasalnya, mekanisme swakelola tipe satu cenderung tertutup dan bersifat rahasia. Menurut laporan dari ICW tahun 2018, mekanisme swakelola menimbulkan setidaknya sebanyak 14 persen kasus korupsi di Indonesia.
“Uang yang besar dan perencanaan swakelola yang cenderung tertutup menjadi motif awal kecurigaan kami dalam kasus penyaluran DAK oleh Dinas Dikbud NTB ke beberapa sekolah,” terang Ramli.
Saat ini muncul isu bahwa terdapat pihak yang menerima fee proyek DAK tersebut. Menurut Ramli, pihak penerima tersebut memiliki peran sebagai calo yang membawa para penyedia DAK untuk ditetapkan sebagai penyedia material, jasa, dan lain-lain. Maka dari itu, Fitra NTB melihat bahwa penyaluran DAK Dinas Dikbud NTB sangat rawan.
“Perlu diketahui bahwa DAK belum dicairkan, namun telah terdapat fee yang ditujukan kepada sejumlah pihak. Pemberian fee proyek sebenarnya adalah modus umum dalam proses pengadaan barang dan jasa,” papar Ramli.
Pemberian fee proyek DAK merupakan proses ambil jatah dalam “kue anggaran” yang disiapkan oleh pemerintah. Mengenai siapa yang akan mendapatkan, tentu saja merupakan pihak yang menguasai informasi utama terkait DAK tersebut.
Fitra NTB mulai mencium kasus transfer fee tersebut sejak kabar berseliweran di media, pada Juli 2022. Tepat ketika Gubernur NTB, Dr. H. Zulkieflimansyah S.E., M.Sc., mengeluh perihal adanya praktik pemberian “jatah preman” terkait DAK pendidikan yang membuat berbagai LSM marah.
“Mengenai siapa dalang di balik fee proyek DAK tersebut, saya sebenarnya tidak ingin terlalu berasumsi. Namun, dalam konteks politik anggaran, dalangnya adalah orang yang memiliki kewenangan dan kekuasaan besar dalam penyaluran anggaran tersebut,” terang Ramli.
Kepada Pemerintah Provinsi NTB, Ramli menyarankan agar segera melakukan review atau kilas balik mengenai perencanaan proyek DAK sejak awal. Hal tersebut dilakukan agar publik memiliki gambaran yang bersih terkait proses perencanaan tersebut.
“Menurut saya, publik sedang menunggu jawaban dari Dinas Dikbud NTB mengenai alasan pemilihan swakelola tipe satu dalam menyalurkan DAK,” pungkas Ramli. (GSR)