Refleksi “Melawan Korupsi dengan Bismillah” ala Somasi NTB

Mataram (NTB Satu) – Usia Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) NTB semakin dewasa, 24 tahun. Lahir saat momentum reformasi tahun 1998, lembaga ini didorong perkuat ide dan gagasan mengawal isu isu pemberantasan korupsi dengan niat baik.

Majalah investigasi Tempo bahkan pernah menulis edisi khusus tentang kerja kerja Somasi secara kelembagaan, dinilai konsisten mengawal penegakan hukum bahkan tanpa kekuatan finansial. Terbit judul “Melawan Korupsi dengan Bismillah” pada halaman 40 – 41 edisi tanggal 2 – 8 Januari 2012. Somasi digambarkan Tempo dalam judul utama “Pejuang Antikorupsi” karena dedikasi salah satu Non Government Organization (NGO) yang merawat semangat pemberantasan korupsi dan penegakan demokrasi.

Kupasan Tempo soal kerja pemberantasan korupsi Somasi NTB. Foto : Haris Al Kindi

Ide ide dan gagasan itu dikupas lagi dalam diskusi 23 Mei 2022 di Kantor Somasi NTB, Jalan Pariwisata nomor 17 Mataram sejak sore hingga petang. Diskusi yang digagas Direktur atau Ketua Badan Pekerja Somasi NTB, Dwi Arie Santo, dikemas silaturahmi pengurus dan alumni Somasi NTB serta jejaring itu memberikan catatan, evaluasi dan refleksi agar Somasi NTB semakin kuat pada track-nya.

Dewan Etik Somasi NTB, Adhar Hakim merefleksi era reformasi jadi penanda kelahiran Somasi NTB. Pada era peralihan dari Orde baru itu, masa pancaroba ketika geliat pemberantasan korupsi sedang tumbuh. Somasi sebagai civil society dan lembaga lembaga lainnya, mendapat angin segar menjalankan peran pencegahan, apalagi ada dukungan kuat dunia internasional melalui pembiayaan.

Namun masa pancaroba itu hanya terasa angin segarnya bertahan 15 sampai 20 tahun, termasuk ditandai dengan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan NGO bernafas sama lainnya.

Saat itu civil society saat ini mendapat jalan karena kuatnya dukungan publik, lembaga lembaga juga mendapat pembiayaan internasional.

“Kita hadapi pancaroba pemberantasan korupsi termasuk Somasi, seolah semua orang sadar pada pelayanan publik yang bersih dari praktik korupsi saat itu,” kata pendiri Somasi NTB ini.

Faktanya, masa pancaroba itu sebentar, sekira 15 sampai 20 tahu. Masa masa itu berubah drastis dengan regresi demokrasi. Somasi pun sedang mengalami itu.

“Tapi itu jadi alat uji yang membesarkan Somasi NTB di masa mendatang,” kata Adhar Hakim yang saat ini menjabat Kepala Ombudsman NTB.

Potong tumpeng mantan direktur dan pengurus Somasi NTB. Foto : Haris Al Kindi

Hadir juga Lalu Ahyar Supriadi yang banyak mendorong agar momentum dapat diambil Somasi pada isu isu seremonial tapi krusial. “Seperti pergantian Kajati, pergantian Kapolda, pada momentum pengesahan APBD dan pembahasan Perda Perda, Somasi dapat masuk dalam momentum itu dalam rangka mengawal pemberantasan korupsi dan transparansi anggara daerah,” kata mantan Ketua Badan Pekerja Somasi NTB ini.

Strategi yang bisa dijalankan adalah kolaborasi dengan media dengan sama sama menjalankan kontrol sosial.

Memastikan penegakan hukum berjalan sesuai aturan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) adalah bagian dari tanggungjawab publik yang harus dijalankan oleh Somasi NTB. Lebih dari itu, harus masuk di pengawalan kewenangan lembaga penyelenggara negara. Dorongan itu dilontarkan Yudhi Darmadhi yang juga pernah menjabat Direktur Somasi NTB.

“Somasi harus mengambil peran sebagai lembaga yang bertanggungjawab pada publik, sebagaimana media. Karena anggaran anggaran publik jangan sampai disalahgunakan oleh mereka yang punya kewenangan, hanya karena Somasi NTB tidak ambil peran pengawalan,” tegas Yudhi, yang saat ini komisioner Ombudsman NTB.

Pertemuan dan diskusi ditutup pemotongan tumpeng tanda syukur lembaga itu masuk usia remaja. (HAK)

Exit mobile version